A. Judul
Pengaruh Model
Pembelajaran Kooperatif Tipe Think Pair Share (TPS) Terhadap Hasil Belajar
Fisika Siswa Kelas XI Pada Konsep Fluida Statis.
B. Masalah Penelitian
1.
Latar
Belakang Masalah
Pendidikan
merupakan salah satu bentuk upaya untuk meningkatkan kualitas sumber daya
manusia. Pendidikan, dalam arti usaha sadar dan terencana mewujudkan proses
belajar sepanjang hayat, menyentuh semau sendi kehidupan, semua lapisan
masyarakat, dan segala usia.[1] Kesadaran
tentang pentingnya pendidikan telah mendorong berbagai upaya dan perhatian
seluruh lapisan masyarakat terhadap setiap perkembangan dunia pendidikan,
terutama perkembangan dalam bidang teknologi dan informasi, dimana pengetahuan
tentang ilmu fisika yang sangat erat kaitannya dengan IPTEK sangat perlu untuk
dikembangkan mulai dari tingkat dasar untuk dapat bersaing dan dapat bertahan
dengan kondisi jaman yang selalu berkembang seiring berjalannya waktu, maka
dalam proses pembelajaran harus dapat mengembangkan kemampuan siswa seutuhnya
agar memiliki kualitas sumber daya manusia yang baik untuk menjawab
tantangan-tantangan yang ada.
Dalam
proses pembelajaran guru dituntut untuk bisa memilih model pembelajaran yang
tepat sesuai dengan situasi dan kondisi siswa agar mencapai keberhasilan dalam
belajar. Keberhasilan yang dimaksud adalah siswa dapat membangun konsep-konsep
fisika dengan bahasanya sendiri, mampu mengaplikasikannya dalam kehidupan
sehari-hari, serta mampu menyelesaikan masalah-masalah fisika yang ia temukan.
Pelajaran
fisika adalah pelajaran yang mengajarkan berbagai pengetahuan yang dapat
mengembangkan daya nalar, analisa, sehingga hampir semua persoalan yang
berkaitan dengan alam dapat dimengerti. Untuk dapat mengerti fisika secara luas,
maka harus dimulai dengan kemampuan pemahaman konsep dasar yang ada pada
pelajaran fisika. Berhasil atau tidaknya seorang siswa dalam memahami tentang
pelajaran fisika sangat ditentukan oleh pemahaman konsep.
Dalam belajar
fisika hendaknya fakta konsep dan prinsip-prinsip fakta tidak diterima secara
prosedural tanpa pemahaman dan penalaran. Pengetahuan tidak dapat dipindahkan
begitu saja dari otak seseorang (guru) ke kepala orang lain (siswa). Siswa
sendirilah yang harus mengartikan apa yang telah diajarkan dengan menyesuaikan
terhadap pengalaman-pengalaman mereka. Pengetahuan atau pengertian dibentuk
oleh siswa secara aktif, bukan hanya diterima secara pasif dari guru mereka.
Konsep fluida
statis merupakan konsep yang cukup penting dalam kurikulum pembelajaran fisika.
Konsep ini diperkenalkan sejak duduk di bangku sekolah menengah pertama (SMP)
dan merupakan konsep yang sangat dekat dengan fenomena yang sering ditemui
siswa dalam kehidupan sehari-hari. Namun demikian, pada kenyataannya tidak
sedikit siswa yang mengalami kesulitan dalam menguasai konsep-konsep fluida
ststis dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
Seorang
siswa dalam belajar fisika dikatakan kurang berhasil apabila perubahan tingkah
laku yang terjadi belum mampu menentukan kebijaksanaannya untuk mencapai suatu
hasil yang telah ditetapkan secara tepat dalam waktu yang telah ditentukan.
Untuk mencapai suatu hasil belajar yang
maksimal, banyak aspek yang mempengaruhinya, di antaranya aspek guru, siswa,
metode pembelajaran dan lain-lain.
Menurut
Gage (1984), belajar dapat di definisikan sebagai suatu proses dimana satu
organisme berubah perilakunya sebagai akibat pengalaman.[2]
Belajar
merupakan suatu proses yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu
perubahan yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri
dalam interaksi dengan lingkungannya. Tingkat keberhasilan pendidikan tidak
terlepas dari proses belajar dan pembelajaran yang dilakukan oleh siswa.
Masalah
yang di hadapi oleh siswa dalam proses belajar mengajar yaitu kesulitan siswa
dalam memahami materi yang di ajarkan guru dengan menggunakan model
pembelajaran yang belum mengaktifkan seluruh siswa. Selama ini guru masih
menggunakan model pembelajaran kelompok yang konvensional. Model pembelajaran
seperti ini menyebabkan keterlibatan seluruh siswa dalam aktivitas pembelajaran
yang sangat kecil, karena kegiatan pembelajaran di dominasi oleh siswa yang
memiliki kemampuan tinggi sementara yang memiliki kemampuan rendah hanya
menonton saja (pasif). Hal ini berarti
dalam suatu kelompok belajar masih banyak siswa yang belum melakukan
keterampilan kooperatif. Hal ini menyebabkan sebagian besar siswa terutama yang
memiliki kemampuan rendah enggan berpikir, sehingga timbul perasaan jenuh dan
bosan dalam mengikuti pelajaran fisika.akibat dari sikap siswa tersebut, maka
hasil belajarpun kurang memuaskan, dalam arti tidak memenuhi batas tuntas yang
di tetapkan sekolah.
Suasana kelas perlu direncanakan dan dibangun sedemikian rupa sehingga
siswa mendapatkan kesempatan untuk berinteraksi satu sama lain. Dalam interaksi
ini, siswa akan membentuk komunitas yang memungkinkan mereka mencintai proses
belajar dan mencintai satu sama lain.
Dalam proses
belajar mengajar melibatkan berbagai macam aktivitas yang harus dilakukan,
terutama jika menginginkan hasil yang optimal. Salah satu cara yang dapat
dipakai agar mendapatkan hasil yang optimal seperti yang diinginkan adalah
memberi tekanan dalam proses pembelajaran. Hal ini dapat dilaksanakan dengan
memilih salah satu model pembelajaran yang tepat karena pemilihan model
pembelajaran yang tepat pada hakikatnya merupakan salah satu upaya dalam
mengoptimalkan hasil belajar siswa.
Salah satu model pembelajaran yang memungkinkan siswa untuk berinteraksi
satu sama lain adalah model pembelajaran kooperatif. Model pembelajaran
kooperatif dapat memotivasi siswa, memanfaatkan seluruh energi sosial siswa,
saling mengambil tanggung jawab. Model pembelajaran kooperatif membantu siswa belajar
mulai dari keterampilan dasar sampai pemecahan masalah yang kompleks.
Ironisnya, model pembelajaran kooperatif belum banyak diterapkan dalam
pendidikan walaupun orang indonesia sangat membanggakan sifat gotong-royong
dalam kehidupan bermasyarakat.
Model Pembelajaran kooperatif memiliki beberapa tipe.
Salah satu tipe model pembelajaran kooperatif yang dapat membangun kepercayaan
diri siswa dan mendorong partisipasi mereka dalam kelas adalah model
pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Share. Model Pembelajaran
kooperatif tipe Think-Pair-Share membantu siswa mengintepretasikan ide
mereka bersama dan memperbaiki pemahaman.[3] Dalam
hal ini, guru sangat berperan penting untuk membimbing siswa melakukan diskusi,
sehingga terciptanya suasana belajar yang lebih hidup, aktif, kreatif, efektif
dan menyenangkan. Dengan demikian jelas bahwa melalui model pembelajaran
Think-Pair-Share, siswa secara langsung dapat memecahkan masalah, memahami
suatu materi secara berkelompok dan saling membantu antara satu dengan yang
lainnya, membuat kesimpulan (diskusi) serta mempresentasikan di depan kelas
sebagai salah satu langkah evaluasi terhadap kegiatan pembelajaran yang telah
dilakukan. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan model pembelajaran Think-Pair-Share
sebagai salah satu upaya dalam meningkatkan prestasi belajar siswa. Model pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Share cocok
digunakan di SMA
karena kondisi siswa SMA yang masih dalam masa remaja membuat mereka menyukai hal baru dan lebih
terbuka dengan teman sebaya dalam memecahkan permasalahan yang mereka hadapi.
Berdasarkan
latar belakang masalah yang telah diuraikan sebelumnya dan sebagai salah satu
alternatif pembelajaran inovatif yang dapat mengembangkan keterampilan
berkomunikasi dan proses interaksi di antara individu yang dapat digunakan
sebagai sarana interaksi sosial di antara siswa dan sekaligus menjawab masalah
yang ada di sekolah, penulis bermaksud mengadakan penelitian dengan judul Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Think Pair Share (TPS) Teradap
Hasil Belajar Fisika Siswa Kelas XI Pada Konsep Fluida Statis.
2.
Identitas
Masalah
Berdasarkan
latar belakang terjadinya masalah yang telah dipaparkan, penulis
mengidentifikasi masalah sebagai berikut :
a) Siswa
masih menganggap fisika sebagai mata pelajaran yang sulit.
b) Kemampuan
pemahaman siswa terhadap konsep-konsep fisika yang masih kurang.
c) Proses
pembelajaran fisika lebih menekankan pada pencapaian tuntutan kurikulum dan
penyampaian materi semata, sehingga menyebabkan rendahnya hasil belajar fisika
siswa.
d) Guru
belum menerapkan model pembelajaran yang mampu menciptakan suasana
pembelajaranan yang menarik dan menyenangkan.
3.
Pembatasan
Masalah
Berdasarkan
identifikasi masalah yang telah diuraikan, terdapat berbagai masalah yang harus
dihadapi. Sehingga pembatasan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut:
a. Pengaruh
model pembelajaran kooperatif tipe think
pair share (TPS) terhadap hasil belajar fisika siswa kelas XI pada konsep fluida statis.
b.
Hasil belajar fisika yang dimaksud dalam
penelitian ini adalah hasil tes kognitif saja. Adapun ranah kognitif yang dinilai adalah berdasarkan taksonomi
bloom yg sudah direvisi oleh Madaus, dkk yaitu mengingat (C1),
memahami (C2), menerapkan (C3), dan evaluasi (C4).[4]
c.
Peneliti akan memfokuskan pada
penggunaan model pembelajaran kooperatif
tipe think pair share (TPS).
4. Rumusan Masalah
Berdasarkan
identifikasi dan pembatasan masalah yang telah diuraikan, maka penulis
merumuskan masalah dalam penelitian sebagai berikut: “Apakah Terdapat Pengaruh Model
Pembelajaran Kooperatif Tipe Think Pair Share (TPS) Terhadap Hasil Belajar
Fisika Siswa Kelas XI Pada Konsep Fluida Statis ?”
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1.
Tujuan
Penelitian
Adapun
tujuan dari penelitian ini adalah :
a. Untuk
mengetahui prestasi belajar siswa dengan model pembelajaran kooperatif tipe
Think-Pair-Share.
b. Untuk
mengetahui kemampuan siswa dalam mencapai indikator setelah mengikuti kegiatan
pembelajaran menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-share
pada pokok bahasan fluida statis.
c. Untuk
mengetahui respon siswa terhadap model pembelajaran kooperatif tipe Think -
Pair – Share pada pokok bahasan fluida statis.
2.
Kegunaan
penelitian
Adapun
kegunaan penelitian ini sebagai berikut:
a. Merupakan
sumbangan yang berharga bagi lembaga pendidikan SMA 12 Tangsel dalam rangka
memperbaiki dan mengembangkan proses belajar mengajar terutama untuk
meningkatkan prestasi belajar siswa terhadap mata pelajaran fisika.
b. Dengan
metode pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Share siswa akan terbiasa untuk
belajar mandiri dan berdiskusi tanpa harus di dekte oleh guru.
c. Mendorong
guru untuk pro-aktif dalam menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe
Think-Pair-Share dan memotivasi siswa dalam meningkatkan prestasi belajar.
d. Menambah
pengalaman dan wawasan berpikir bagi penulis terutama tentang penelitian
ilmiah.
D. Kajian teoritis dan Kerangka
teoritis
1.
Kajian
teoritis
a.
Model
Pembelajaran
Model
pembelajaran merupakan landasan praktik pembelajaran hasil penurunan teori
psikologis pendidikan dan teori belajar yang di rancang berdasarkan analisis
terhadap implementasi kurikulum dan implikasinya pada tingkat operasional di
kelas. Seiring dengan berkembangnya zaman dan kurikulum yang terus mengalami
perubahan. Adapun berikut ini
adalah pengertian model pembelajaran menurut
pendapat para tokoh pendidikan antara lain:
Menurut
Agus Suprijono model pembelajaran adalah pola yang digunakan sebagai
pedoman dalam merencanakan pembelajaran di kelas maupun tutorial.
Menurut Mills model adalah
bentuk representasi akurat sebagai proses actual yang memungkinkan seseorang
atau sekelompok orang mencoba bertindak berdasarkan model itu.
Menurut Richard I Arends model
pembelajaran mengacu pada pendekatan yang akan digunakan, termasuk
di dalamnya tujuan-tujuan pembelajaran, tahap-tahap kegiatan di dalam
pembelajaran, lingkungan pembelajaran dan pengelolaan kelas.
Dari
beberapa definisi para ahli di atas dapat di simpulkan bahwa model pembelajaran
sebagai kerangka konseptual yang menggambarkan prosedur yang sistematis dalam
mengorganisasikan pengalaman belajar bagi para siswa untuk mencapai tujuan
pembelajaran dan berfungsi sebagai pedoman bagi para perancang pembelajaran dan
para pengajar dalam merencanakan dan melaksanakan aktivitas belajar mengajar.
Secara
harfiah model pembelajaran merupakan strategi yang di gunakan untuk
meningkatkan motivasi belajar, sikap belajar di kalangan siswa, mampu berpikir
kritis, memiliki keterampilan sosial, dan pencapaian hasil pembelajaran yang optimal.
Model pembelajaran adalah betuk penjabaran yang tergambar dari awal sampe akhir
yang disajikan secara khas oleh guru kelas. Dalam model pembelajaran terdapat
strategi pencapaian kompetensi siswa dengan pendekatan, metode dan teknik
pembelajaran.
b.
Jenis-
jenis model pembelajaran
Sugiyanto (2008) mengemukakan bahwa ada banyak model pembelajaran yang
dikembangkan oleh para ahli dalam usaha mengoptimalkan hasil belajar siswa.
Model pembelajaran tersebut antara lain terdiri dari:
1. Model
Pembelajaran Kontekstual
Model pembelajaran kontekstual merupakan konsep belajar yang mendorong guru
untuk menghubungkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata
siswa. Pembelajaran ini juga mendorong siswa membuat hubungan antara
pengetahuan yang dimilikinya dan penerapannya dalam kehidupan mereka
sehari-hari. Pengetahuan dan keterampilan siswa diperoleh dari usaha siswa
mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan baru ketika siswa belajar.
2. Model
Pembelajaran Kooperatif
Model pembelajaran kooperatif merupakan pendekatan pembelajaran yang
berfokus pada penggunaan kelompok kecil siswa untuk bekerja sama dalam
memaksimalkan kondisi belajar untuk mencapai tujuan belajar.
3. Model
Pembelajaran Kuantum
Model pembelajaran kuantum merupakan rakitan dari berbagai teori atau
pandangan psikologi kognitif dan pemrograman neurologi yang jauh sebelumnya
sudah ada.
4. Model
Pembelajaran Terpadu
Model pembelajaran terpadu merupakan pembelajaran yang memungkinkan siswa
baik secara individual maupun kelompok aktif mencari, menggali, dan menemukan
konsep serta prinsip secara holistik. Pembelajaran ini merupakan model yang
mencoba memadukan beberapa pokok bahasan.
5. Model
Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning – PBL)
Model pembelajaran berbasis masalah (Problem Based Learning – PBL)
merupakan pembelajaran yang mengambil psikologi kognitif sebagai dukungan
teoritisnya. Fokusnya tidak banyak pada apa yang sedang dikerjakan siswa tetapi
pada apa yang siswa pikirkan selama mereka mengerjakannya. Guru memfungsikan
diri sebagai pembimbing dan fasilitator sehingga siswa dapat belajar untuk
berfikir dan menyelesaikan masalahnya sendiri.
c.
Model
Pembelajaran Kooperatif
Pembelajaran
kooperatif adalah pembelajaran yang secara sadar dan sengaja mengembangkan interaksi
yang saling asuh antar siswa untuk menghindari ketersinggungan dan kesalah
pahaman yang dapat menimbulkan permusuhan[5].
Secara
sederhana, kata kooperatif berarti mengerjakan sesuatu secara bersama-sama
dengan saling membantu satu sama lainnya sebagai satu tim. Jadi, pembelajaran
kooperatif dapat diartikan belajar bersama, saling membantu satu sama lain
dalam belajar dan memastikan bahwa setiap orang dalam kelompok mencapai tujuan
atau tugas yang telah di tentukan sebelumnya.
Lie
menyebut pembelajaran kooperatif dengan istilah pembelajaran gotong royong,
yaitu sistem pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk bekerja
sama dengan teman-teman yang lainnya dalam tugas yang terstruktur. Sedangkan
pendapat jahiri menyebutkan bahwa pembelajaran kooperatif sebagai pembelajaran
kooperatif yang menuntut di terapkannya pendekatan belajar siswa yang sentris,
humanistik dan demokratis serta disesuaikan pada kemampuan siswa dan lingkungan
belajarnya. Dengan demikian, pembelajaran kooperatif mampu membelajarkan diri
dan kehidupan siswa baik di kelasatau di sekolah.
Pembelajaran
kooperatif merujuk pada berbagai macam metode pengajaran dimana para siswa
bekerja dalam kelompok-kelompok kecil untuk saling membantu satu sama lainnya
dalam memepelajari materi pelajaran[6]bit.
Dalam kelas kooperatif, para siswa diharapkan dapat saling membantu, saling
mendiskusikan dan berargumentasi, untuk masalah pengetahuan yang mereka kuasai
saat itu dan menutup kesenjangan dalam pemahaman masing-masing. Pembelajaran koopertif
bukanlah gagasan baru dalam dunia pendidikan, tetapi sebelum msa belakangan ini
metode ini hanya digunakan oleh beberapa guru untuk tujuan-tujuan tertentu,
seperti tugas-tugas atau laporan kelompok tertentu.[7]
Ada
banyak alasan yang membuat pembelajaran kooperatif memasuki jalur utama praktik
pendidikann kooperat. Salah satunya adalah berdasarkan penelitian dasar yang
mendukung penggunaan pembelajaran kooperatif untuk meningkatkan pencapaian
prestasi para siswa, dan juga akibat-akibat positif lainnya yang dapat
mengembangkan hubungan antar kelompok, penerimaan terhadap teman sekelas yang
lemah dalam bidang akademik, dan meningkatkan rasa harga diri.
Inilah
inti dari pembelajaran kooperatif (Slavin, 1928a,b)[8].
Dalam metode pembelajaran kooperatif, para siswa akan duduk bersama dalam
kelompok yang beranggotakan empat orang untuk menguasai materi yang disampaikan
oleh guru. Anggota timnya heterogen yang terdiri dari siswa yang berprestasi
tinggi, sedang, dan rendah, laki-laki dan perempuan, dan berasal dari latar
belakang etnik yang berbeda.
Metode
pembelajaran kooperatif tentu saja bukan hal baru. Para guru sudah
menggunakannya selama bertahun-tahun dalam bentuk laboratorium, kelompok tugas,
kelompok diskusi, dan sebagainya. Namun penelitian terakhir di Amerika dan
beberapa negara lain telah menciptakan metode-metode pembelajaran kooperatif
yang sistematik dan praktis yang ditujukan untuk digunakan sebagai elemen utama
dalam pola pengaturan di kelas, pengruh penerapan metode-metode ini juga telah
di dokumentasikan, dan telah di aplikasikan ada kurikulum pengajaran yang lebih
luas. Metode-metode ini sekarang telah digunakan secara ekstensif dalam setiap
subjek yang dapat dikonsepkan, pada tingkat kelas mulai dari taman kanak-kanak
sampai perguruan tinggi, dan pada berbagai macam sekolah di seluruh dunia[9].
d.
Metode
Think Pair Share (TPS)
Tipe
ini di kembangkan oleh Frank Lyman, dkk. Dari universitas Maryland 1981 yang
mampu mengubah asumsi bahwa metode resitasi dan diskusi perlu diselenggarakan
dalam seting kelompok kelas secara keseluruhan. Tipe ini memberikan kepada para
siswa waktu untuk berpikir dan merespon serta salaing bantu satu sama lain.[10]
Dikemukakan oleh Lie bahwa, “Think Pair Share adalah pembelajaran yang
memberi siswa kesempatan untuk bekerja sendiri dan bekerjasama dengan orang
lain”.
Sedangkan menurut gunter
Think-Pair-Share adalah pembelajaran dengan cara siswa saling belajar satu sama
lain dan mendapatkan jalan keluar dari ide mereka setelah berdiskusi dan
membuat ide mereka untuk didiskusikan dalam seluruh kelas.
Hal senada juga disampaikan oleh Ibrahim, dkk, mereka menyatakan bahwa TPS
(Think Pair Share) atau (Berfikir Berpasangan Berbagi) merupakan jenis
pembelajaran kooperatif yang dirancang untuk mempengaruhi pola interaksi siswa.
Think-Pair-Share menghendaki siswa bekerja saling membantu dalam kelompok kecil
(2-6 anggota) dan lebih dirincikan oleh penghargaan kooperatif, dari pada
penghargaan individual.
Dari berbagai pendapat diatas
dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran koopratif learning tipe Think Pair Share (TPS)
adalah Model
Pembelajaran yang menggunakan metode diskusi berpasangan yang
dilanjutkan dengan diskusi pleno. Dengan model pembelajaran ini siswa dilatih
bagaimana mengutarakan pendapat dan siswa juga belajar menghargai pendapat
orang lain dengan tetap mengacu pada materi atau tujuan pembelajaran.[11]
Think-Pair-Share merupakan model
pembelajaran yang menggunakan teknik sederhana namun menghasilkan keuntungan
yang besar. Think-Pair-Share dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam
mengingat suatu informasi dan seorang siswa juga dapat belajar dari siswa lain
serta saling menyampaikan idenya untuk didiskusikan sebelum disampaikan di
depan kelas. Selain itu, Think-Pair-Share juga dapat memperbaiki rasa
percaya diri dan semua siswa diberi kesempatan berpartisipasi dalam kelas.
Think-Pair-Share digunakan untuk mengajarkan isi akademik atau untuk
mengecek pemahaman siswa terhadap isi tertentu. Guru menciptakan interaksi yang
dapat mendorong rasa ingin tahu, ingin mencoba, bersikap mandiri, dan ingin
maju. Guru memberi informasi, hanya informasi yang mendasar saja, sebagai dasar
pijakan bagi anak didik dalam mencari dan menemukan sendiri informasi lainnya.
Atau guru menjelaskan materi dengan mengaitkannya dengan pengalaman dan pengetahuan
anak sehingga memudahkan mereka menanggapi dan memahami pengalaman yang baru
bahkan membuat anak didik mudah memusatkan perhatian. Karenanya guru sangat
perlu memperhatikan pengalaman dan pengetahuan anak didik yang didapatinya
dalam kehidupan sehari-hari.
Hasil dari Think-Pair-Share
adalah untuk mengembangkan partisipasi siswa dalam kelas dengan berdiskusi dan
meningkatkan pemahaman konsep. Dengan cara siswa saling belajar satu sama lain
dan mendapatkan jalan keluar dari ide mereka setelah berdiskusi dan membuat ide
mereka untuk didiskusikan dalam kelas (Gunter, 1999).
Langkah-langkah
(syntaks) model pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Share terdiri dari lima
langkah, dengan tiga langkah utama sebagai ciri khas yaitu think, pair, dan share.
Kelima tahapan pembelajaran dalam model pembelajaran kooperatif tipe think pair
share dapat dilihat pada tabel berikut :
Fase
Atau Tahapan
|
Perilaku
Guru
|
Fase
1:
Memberikan orientasi kepada peserta didik
|
Ø Guru
menjelaskan aturan main dan batasan waktu untuk tiap
Ø kegiatan,
memotivasi siswa terlibat pada aktivitas pemecahan masalah
Ø Guru
menjelaskan kompetensi yang harus dicapai oleh siswa
|
Fase 2:
Think
(berfikir secara individu)
|
Ø Guru
menggali pengetahuan awal siswa melalui kegiatan demonstrasi
Ø Guru memberikan
Lembar Kerja Siswa (LKS) kepada seluruh siswa
Ø Siswa
mengerjakan LKS tersebut secara individu
|
Fase 3:
Pair
(berpasangan dengan teman sebangku)
|
Ø Siswa
dikelompokkan dengan teman sebangkunya
Ø Siswa
berdiskusi dengan pasangannya mengenai jawaban tugas yang telah dikerjakan
|
Fase 4:
Share
(berbagi jawaban dengan pasangan lain)
|
Ø Satu
pasang siswa dipanggil secara acak untuk berbagi pendapat kepada seluruh
siswa di kelas dengan dipandu oleh guru.
|
Fase 5:
Penghargaan
|
Ø Siswa
dinilai secara individu dan kelompok
|
e.
Pengertian
Belajar
Balajar
adalah kegiatan yang berproses dan
merupakan unsur yang sangant fundamental dalam penyelenggaraan setiap
jenis dan jenjang pendidikan. Ini berarti bahwa berhasil atau gagalnya
pencapaian tujuan pendidikan itu amat bergantung pada proses belajar yang
dialami siswa, baik ketika ia berada di
sekolah maupun di lingkungan rumah atau keluarganya sendiri.
Oleh
karenanya, pemahaman yang benar mengenai arti belajar dengan segala aspek,
bentuk, dan manifestasinya mutlak diperlukan oleh para pendidik khususnya para
guru. Kekeliruan atau ketidaklengkapan persepsi mereka terhadap proses belajar
dan hal-hal yang berkaitan dengannya mungkin akan mengakibatkan kurang
bermutunya hasil pembelajaran yang dicapai peserta didik.
Menurut
Gage (1984) belajar dapat di definisikan sebagai suatu proses dimana suatu
organisme berubah perilakunya sebagai akiba pengalaman[12].
Menurut W.S.
Winkel, belajar merupakan kegiatan mental yang tidak dapat disaksikan dari
luar. Apa yang terjadi dalam diri seseorang yang sedang belajar, tidak dapat
diketahui secara langsung hanya dengan mengamati orang tersebut[13].
Menurut
Arief S. Sadiman, dkk. belajar adalah suatu proses yang kompleks yang terjadi
pada semua orang dan berlangsung seumur hidup, sejak dia masih bayi hingga ke
liang lahat nanti. Salah satu pertanda bahwa seseorang telah belajar adalah
adanya prubahan tingkah laku dalam dirinya. Perubahan tingkah laku tersebut
menyangkut baik perubahan yang bersifat pengetahuan (kognitif) dan keterampilan
(psikomotor) maupun yang menyangkut nilai dan sikap (afektif).[14]
Menurut
pengertian secara psikologis, belajar merupakan suatu proses perubahan yaitu
perubahan tingkah lakusebagai hasil dari interaksi dengan lingkungannya dalam
memenuhi kebutuhan hidupnya. Perubahan-perubahan tersebut akan nyata dalam
seluruh aspek tingkahlaku[15].
Dari beberapa
pengertian belajar diatas, dapat disimpulkan bahwa belajar ialah suatu proses
usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku
yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam
interaksi dengan lingkungannya.
Belajar
adalah kunci yang paling vital dalam
setiap usaha pendidikan, sehingga tanpa belajar sesungguhnya tidak pernah ada
pendidikan. Sebagai suatu proses, belajar hampir selalu mendapat tempat yang
luas dalam berbagai disiplin ilmu yang berkaitan dengan upaya pendidikan,
misalnya psikologi pendidikan. Perubahan dan kemampuan untuk berubah merupakan
batasan dan makna yang terkandung dalam belajar. Karena kemampuan berubahlah,
manusia terbebas dari kemandegan fungsinya sebagai khalifah dibumi. Selain itu,
dengan kemampuan berubah melalui belajar itu, manusia secara bebas dapat
mengeksplorasi, memilih, dan menetapkan keputusan penting untuk kehidupannya. E.L.
Thorndike meramalkan, jika kemampuan belajar umat manusia dikurangi setengahnya
saja maka peradaban yang ada sekarang tak akan berguna bagi generasi mendatang.
Bahkan, mungkin peradaban itu sendiri akan lenyap ditelan zaman[16].
f.
Hasil
Belajar
Belajar
dan mengajar merupakan konsep yang tidak bisa dipisahkan. Belajar merujuk pada
apa yang harus dilakukan seseorang sebagai subyek dalam belajar. Sedangkan
mengajar merujuk pada apa yang seharusnya dilakukan seseorang guru sebagai
pengajar. Dua konsep belajar mengajar yang dilakukan oleh siswa dan guru
terpadu dalam satu kegiatan. Diantara keduannya itu terjadi interaksi dengan
guru. Kemampuan yang dimiliki siswa dari proses belajar mengajar saja harus
bisa mendapatkan hasil bisa juga melalui kreatifitas seseorang itu tanpa adanya
intervensi orang lain sebagai pengajar. Oleh karena itu hasil belajar yang
dimaksud disini adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki seorang siswa setelah
ia menerima perlakukan dari pengajar (guru).
Jadi
hasil belajar adalah kemampuan keterampilan, sikap dan keterampilan yang
diperoleh siswa setelah ia menerima perlakuan yang diberikan oleh guru sehingga
dapat mengkonstruksikan pengetahuan itu dalam kehidupan sehari-hari.
Nana
Sudjana mengemukakan bahwa hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang
dimiliki siswa setelah ia memperoleh pengalaman belajarnya. Dalam belajar
terjadi proses berpikir dan terjadi kegiatan mental, dan dalam kegiatan
menyusun hubungan-hubungan antara bagian-bagian informasi yang diperoleh
sebagai pengertian. Karena itu orang menjadi memahami dan menguasai
hubungan-hubungan tersebut. Dengan demikian dapat menampilkan pemahaman dan
penguasaan bahan yang dipelajari tersebut, inilah yang disebut hasil belajar.
Gagne
mengelompokan hasil belajar menjadi lima bagian dalam bentuk kapabilitas. Gagne
dan Briggs (1978 : 49-55) menerangkan bahwa hasil belajar yang berkaitan dengan
lima kategori tersebut adalah [17]:
a) Keterampilan
Intelektual adalah kecakapan yang berkenaan dengan pengetahuan prosedural yang
terdiri atas deskriminasi jamak, konsep konkret dan terdefinisi, kaidahserta
konsep.
b) Strategi
Kognitif adalah kemampuan untuk memecahkan masalah-masalah baru dengan jalan
mengatur proses internal masing-masing individu dalam memperhatikan, mengingat
dan berpikir.
c) Informsi
Verbal adalah kemampuan untuk mendeskripsikan sesuatu dengan kata-kata dengan
jalan mengatur informasi-informasi yang relevan.
d) Keterampilan
motorik adalah kemampuan untuk melaksanakan dan mengkoordinasikan
gerakan-gerakan yang berhubungan dengan otot.
e) Sikap
merupakan kemampuan internal yang berperan dalam mengambil tindakan untuk
menerima atau menolak berdasarkan penilaian terhadap objek tersebut.
Bloom
membagi hasil belajar menjadi tiga kawasan yaitu kognitif, afektif, dan
psikomotorik. Kawasan kognitif berkenaan dengan ingatan atau pengetahuan dan
kemampuan intelektual serta keterampilan-keterampilan. Kawasan psikomotorik
adalah kemampuan-kemampuan menggiatkan dan mengkoordinasikan gerak. Kawasan
kognitif dibagi atas enam macam kemampuan intelektual mengenai lingkungan yang
disusun secara hierarkis dari yang paling sederhana sampai kepada yang paling
kompleks, yaitu 1) pengetahuan adalah kemampuan mengingat kembali hal-hal yang
telah dipelajari, 2) pemahaman adalah kemampuan menangkap makna atau arti suatu
hal, 3) penerapan adalah kemampuan mempergunakan hal-hal yang telah dipelajari
untuk menghadapi situasi-situasi baru dan nyata, 4) analisis adalah kemampuan
menjabarkan sesuatu menjadi bagian-bagian sehingga struktur organisasinya dapat
dipahami, 5) sintesis adalah kemampuan untuk memadukan bagian-bagian menjadi
satu keseluruhan yang berarti, 6) penelitian adalah kemampuan memberi harga
sesuatu hal berdasarkan kriteria intern atau kelompok atau ekstern maupun yang
yang ditetapkan terlebih dahulu.
G. Hakikat hasil belajar
Menurut
Gagne, hasil belajar merupakan kemampuan-kemampuan berupa penampilan yang dapat
diamati, kemampuan-kemampuan itu dapat bersifat kognitif, afektif dan
psikomotorik[18].
Hakikat hasil belajar fisika adalah untuk mengantarkan siswa mengausai
konsep-konsep, teori-teori,dan hukum-hukum fisika serta keterkaitannya agar
agar dapat memecahkan masalah dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam hal ini, kata menguasai mengisyaratkan bahwa peserta didik tidak hanya
sekedar tahu dan hafal tentang konsep-konsep, teori-teori, dan hukum-hukum
fisika, melainkan peserta didik harus bisa memahami dan mengerti konsep-konsep,
teori-teori, dan hukum-hukum fisika dan menghubungkan keterkaitan satu konsep
dengan konsep yang lainya dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Hasil
belajar menumbuhkan pengetahuan dan pengertian dalam diri seseorang sehingga ia
dapat mempunyai kemampuan berupa keterampilan dalam bentuk kebiasaan, sikap dan
cita-cita hidupnya. Dengan menilai hasil belajar peserta didiknya, sebenarnya
guru tidak hanya menilai hasil usaha peserta didiknya saja tetapi sekaligus
juga menilai hasil usahanya sendiri.
Hasil
belajar menempatkan seseorang dari tingkat abilitas yang satu ke tingkat
abilitas yang lain. Mengenai perubahan tingkat abilitas menurut Bloom meliputi
tiga ranah, yaitu[19]:
1.
Kognitif, meliputi: pengetahuan,
pemahaman, analisis, sintesis, menilai, dan menerapkan.
2.
Afektif, meliputi : sikap menerima,
respon, menilai, organisasi, dan karakterisasi.
3.
Psikomotorik, meliputi : persepsi,
kesiapan, gerakan terbimbing, gerakan terbiasa, gerakan kompleks, gerakan pola
penyesuaian, dan kreativitas.
Sebenarnya
hasil belajar merupakan realisasi pemekaran dari kecakapan atau kapasitas yang
dimiliki seseorang. Penguasaan hasil belajar dari seseorang dapat dilihat dari
perilakunya, baik perilaku dalam bentuk penguasaan pengetahuan, keterampilan,
maupun yang menyangkut nilai dalam sikap[20].
Hasil belajar diakibatkan oleh adanya kegiatan evaluasi belajar, dan evaluasi
tersebut dilakukan karena adanya kegiatan balajar. Jadi, hasil belajar fisika
siswa yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pengetahuan yang dicapai siswa
pada mata pelajaran fisika setelah mengalami proses pembelajaran di sekolah dan
dari hasil evaluasi (tes) atau ujian yang diberika setelah melewati proses
belajar pada akhir rumusan tertentu.
2.
Kerangka
teoritis
Think-Pair-Share merupakan model pembelajaran yang menggunakan
teknik sederhana namun menghasilkan keuntungan yang besar. Think-Pair-Share dapat
meningkatkan kemampuan siswa dalam mengingat suatu informasi dan seorang siswa
juga dapat belajar dari siswa lain serta saling menyampaikan idenya untuk
didiskusikan sebelum disampaikan di depan kelas. Selain itu, Think-Pair-Share
juga dapat memperbaiki rasa percaya diri dan semua siswa diberi kesempatan
berpartisipasi dalam kelas. Think-Pair-Share sebagai salah satu metode
pembelajaran kooperatif yang terdiri dari 3 tahapan, yaitu thingking, pairing,
dan sharing. Guru tidak lagi sebagai satu-satunya sumber pembelajaran (teacher
oriented), tetapi justru siswa dituntut untuk dapat menemukan dan memahami
konsep-konsep baru (student oriented).
Think-Pair-Share digunakan untuk mengajarkan isi akademik atau untuk
mengecek pemahaman siswa terhadap isi tertentu. Guru menciptakan interaksi yang
dapat mendorong rasa ingin tahu, ingin mencoba, bersikap mandiri, dan ingin
maju. Guru memberi informasi, hanya informasi yang mendasar saja, sebagai dasar
pijakan bagi anak didik dalam mencari dan menemukan sendiri informasi lainnya.
Atau guru menjelaskan materi dengan mengaitkannya dengan pengalaman dan
pengetahuan anak sehingga memudahkan mereka menanggapi dan memahami pengalaman
yang baru bahkan membuat anak didik mudah memusatkan perhatian. Karenanya guru
sangat perlu memperhatikan pengalaman dan pengetahuan anak didik yang
didapatinya dalam kehidupan sehari-hari.
Penerapan
suatu strategi, model dalam pembelajaran fisika merupakan hal yang sangat
penting dalam meningkatkan kemampuan siswa secara konstruktif dan mengarah
kepada penguasaan materi, kareena itu dalam proses belajar mengajar guru harus
memiliki strategi dan model pembelajaran yang tepat, efisisen, efektif dan
mengena pada tujuan yang diharapkan. Salah satunya dapat melibatkan siswa
mengembangakan motifasi siswa sehingga dapat meningkatkan prestasi siswa. Salah
satunya adalah dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe think pair
share. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada bagan krangka pikir di bawah
ini:
|
||||||||
|
Bagan
2.1
Kerangka
Berpikir
E. Rumusan Hipotesis
Hipotesis
merupakan dugaan sementara terhadap permasalahan yang penulis angkat dalam
penelitian ini sampai terbukti kebenarannya melalui data yang telah terkumpul
dan telah diuji.
Ho : tidak
terdapat pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe think pair share (TPS)
terhadap hasil belajar fisika siswa kelas xi pada konsep fluida statis.
Ha : terdapat pengaruh model pembelajaran
kooperatif tipe think pair share (TPS) terhadap hasil belajar fisika siswa
kelas xi pada konsep fluida statis.
F.
Hasil
kajian pustaka yang relevan
Hasil-hasil
penelitian yang menjadi dasar peneliti melakukan penelitian tentang model
pembelajaran kooperatif tipe think pair share, antara lain sebagai berikut :
1. PENGARUH
PENERAPAN PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE THINK PAIR SHARE (TPS) TERHADAP HASIL
BELAJAR SISWA SMA NEGERI 8 SURAKARTA (oleh
Peni Arianti)
Tujuan
penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penerapan pembelajaran
kooperatif tipe Think Pair Share terhadap hasil belajar siswa kelas X SMA
Negeri 8 Surakarta. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen semu (Quasi
experiment) menggunakan Posstest Only
Control Group Design.Variabel bebas
berupa model pembelajaran kooperatif
tipe Think Pair Share dan variabel terikat adalah hasil belajar biologi siswa.
Hasil
penelitian yang dilakukan menunjukkan
bahwa penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) memberikan pengaruh yang signifikan terhadap
hasil belajar ranah afektif dan ranah psikomotor tetapi tidak memberikan
pengaruh yang signifikan terhadap hasil belajar ranah kognitif siswa kelas X
SMA Negeri 8 Surakarta.
2. MODEL
PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE THINK PAIR SHARE UNTUK AKTIVITAS SISWA DAN HASIL
BELAJAR MATEMATIKA ANAK TUNARUNGU (oleh Nur Azizah)
Hasil
tes matematika seluruh siswa kelas IV sebelum dilakukan intervensi melalui
model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share, menunjukkan tingkat hasil
belajar dengan rata - rata 41,28 dan setelah dilakukan intervensi menunjukkan
tingkat hasil belajar dengan rata – rata 64,73. Adanya peningkatan yang
signifikan hasil belajar matematika anak tunarungu kelas IV dari sebelum dan
setelah dilakukan intervensi melalui model pembelajaran kooperatif tipe Think
Pair Share Dari uraian dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: bahwa ada
pengaruh yang signifikan model
pembelajaran kooperatif tipe Think Pair
Share terhadap aktivitas siswa dan hasil belajar matematika anak tunarungu
kelas IV di SDLB –B Karya Mulia I Surabaya.
Berdasarkan
hasil penelitian yang telah dilaksanakan bahwa penggunaan model pembelajaran
kooperatif tipe Think Pair Share dapat meningkatkan kemampuan berinteraksi
social anak tunarungu dan dapat meningkatkan aktivitas siswa serta hasil
belajar matematika di sekolah. Oleh sebab itu maka penulis menyarankan kepada:
(1) Hendaknya guru menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share sebagai pengembangan proses
pembelajaran di sekolah. Karena pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Share dapat merangsang siswa untuk
berfikir, menjawab dan saling membantu
satu sama lain dan siswa diberikan kesempatan untuk bertanggung jawab
atas segala sesuatu dalam kelompoknya sehingga dapat merangsang siswa secara aktif untuk mengemukakan apa yang mereka
pikirkan selama proses pembelajaran; (2) Orang tua dapat juga menerapkan model
pembelajaran kooperatif sebagai proses pembelajaran dirumah. Seperti halnya
ketika menyelesaikan pekerjaan dirumah, orang tua dan anak saling bekerja sama dalam melaksanakan tugas
di rumah. Selain itu orang tua hendaknya menciptakan interaksi dan komunikasi
dua arah yang aktif dengan anak serta
memberikan kesempatan anak untuk berpendapat dalam keluarga; (3) Peneliti Lanjutan dapat
mengembangkan lebih cermat tentang pembelajaran kooperatif dan memperhatikan
langkah- langkahnya serta kondisi yang ada pada diri subyek penelitian.
3. CETLs
: SUPPORTING COLLABORATIVE ACTIVITIES AMONG STUDENTS AND TEACHERS THROUGH THE
USE OF THINK-PAIR-SHARE TECHNIQUES. (oleh : N. A. Nik Azlina)
Hasil penelitian
yang dilakukan oleh N. A. Nik Azlina bahwa lingkungan belajar kolaboratif
computer-supported adalah sebuah kesempatan baik untuk belajar masyarakat untuk
mempengaruhi teknologi baru. dengan demikian penelitian ini telah melaporkan
pendekatan kolaboratif yang digunakan untuk mengajar dan belajar di Web.
Pendekatan untuk mengajar dan belajar kolaboratif termasuk posisi guru sebagai
pengawas, bersama dengan pengawas diskusi kelas dan pelajar, dan penggunaan
dari sekelompok proyek. Beberapa alat CSCL telah ditinjau dan perbandingan
dibuat sesuai. Kolaboratif belajar teknik
Berpikir-pasangan-berbagi, diringkas, dan sistem CSCL yang menerapkan
teknik ini menjadi berkembang. Sistem
cscl yang disebut sebagai cetls, yang berharap untuk meningkatkan proses
belajar mengajar, dengan demikian untuk meningkatkan kinerja para siswa di
sekolah-sekolah. CETLs dipercaya sebagai mekanisme pembelajaran yang mampu
menyediakan transformasi lebih baik tidak hanya untuk guru dan siswa, tetapi
untuk seluruh masyarakat juga.
G. Metodologi penelitian
1.
Tempat
penelitian
Penelitian
ini akan dilaksanakan pada semester genap di
SMAN 12 Tanerang Selatan.
2.
Waktu
penelitian
Penelitian
ini dilakukan pada semester genap kelas tahun ajaran 2012/2013.
3.
Metode
dan desain penelitian
Metode
yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode eksperimen.
Metode ini bersifat menguji yaitu menguji pengaruh satu atau lebih variabel
terhadap variabel lain[21].
Metode yang diguanakan dalam penelitian ini adalah quasi eksperimen yaitu suatu
eksperimen semu dimana penelitian menggunakan racangan penelitian yang tidak
dapat mengontrol secara penuh terhadap ciri-ciri dan karakteristik sampel yang
diteliti, tetapi cenderung menggunakan rancangan yang kemungkinan pada
pengontrolan yang sesuai dengan kondisi yang ada (situasional)[22].
Tabel
Desain Penelitian
No
|
Kelompok
|
Pretest
|
treatment
|
Posttest
|
1
|
E
|
T1
|
X1
|
T2
|
2
|
C
|
T1
|
X2
|
T2
|
Keterangan :
E : kelompok eksperimen (kelompok yang
menggunakan model kooperatif tipe think pair share)
C : kelompok kontrol (kelompok yang
menggunakan metode konvensional)
T1 :
tes awal yang sama pada kedua kelompok (pretest)
X1 :
perlakuan dengan menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe think pair share
X2 : perlakuan dengan menggunakan metode
konvensional
T2 : tes akhir yang sama pada kedua
kelompok (posttest)
Berdasarkan
desain penelitian di atas kedua kelompok diberi tes awal dengan tes yang sama.
Setelah diberi perlakuan yang berbeda kedua kelompok dites dengan tes yang sama
sebagai tes akhir. Hasil kedua tes akhir dibandingkan (diuji perbedaannya)
demikian juga antar hasil tes awal dengan tes akhir pada masing-masing
kelompok. Perbedaaan yang berarti antar kedua tes dan tes akhir pada kelompok
eksperimen menunjukan pengaruh dari perlakuan yang diberikan.
Variabel
penelitian pada dasarnya adalah segala sesuatu yang berbentuk apa saja yang
ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari sehingga diperoleh informasi tentang
hal tersebut, kemudian ditarik kesimpulannya[23].
Jadi, penelitian ini melibatkan dua variabel, yaitu variabel bebas (independent
variabel) dan variabel teriakat (dependent variabel). Variabel bebas (X) dalam
penelitian ini adalah model pembelajaran kooperatif tipe think pair share (TPS),
sedangkan variabel terikatnya (Y) adalah hasil belajar fisika siswa kelas XI
pada konsep fluida statis.
Pada
penelitian ini, desain atau rancangan penelitian yang digunakan adalah Control
Group Pretest-Postest. Dalam desain ini terdapat dua kelompok yang dipilih
secara random, kemudian diberi pretest untuk mengetahui keadaan awal adakah
perbedaan antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Hasil pretest yang
baik bila nilai kelompok eksperimen tidak berbeda secara signifikan[24].
4.
Populasi
Dan Sampel Penelitian
Populasi
adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek/subyek yang mempunyai
kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk
dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya[25].
Menurut
Ronald E. Walpole, populasi adalah keseluruhan pengamatan yang menjadi
perhatian kita[26].
Populasi
dalam penelitian ini adalah populasi target dan terjangkau. Yang menjadi
populasi target adalah seluruh siswa SMAN 12 Tangerang Selatan. Sedangkan yang
menjadi populasi terjangkau yaitu seluruh siswa kelas XI yang terdaftar di
skolah tersebut pada semester genap tahun ajaran 2012/2013.
Sampel
adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi
tersebut[27].
Menurut Ruseffendi, sampel adalahsebagian atau wakil yang diteliti[28].
Sampel di ambil secara acak dari populasi terjangkau sebanyak 2 kelas. Satu
kelas dipilih secara acak sebagai kelompok eksperimen dan secara acak pula
memilih kelas sebagai kelompok kontrol. Sampel di ambil dengan teknik Cluster
Random Sampling (pengambilan kelas secara acak).
Sampel
yang akan diambil dalam penelitian ini adalah dua kelas, yaitu kelas XI IPA I
dan kelas XI IPA II SMAN 12 Tangerang Selatan tahun ajaran 2012/2013.
5.
Teknik
pengumpulan data
Teknik
pengambilan data yang dimaksud dalam penelitian ini adalah cara yang digunakan
untuk memperoleh data-data empiris untuk mencapai tujuan penelitian. Cara yang
digunakan peneliti dalam pengumpulan data adalah dengan menggunakan jenis test
sebagai instrumen penelitian. Test tersebut di berikan secara langsung kepada
dua kelompok sampel setelah peneliti memberikan perlakuan pada kedua kelomok
tersebut. Jadi test ini di berikan setelah siswa yang di maksud mempelajari
materi yang telah dipelajrai dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif
tipe think pair share (TPS).
6.
Instrumen
Instrumen
penelitian diartikan sebagai alat yang
dapat menunjang sejumlah data yang di asumsikan untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan (masalah) dan menguji hipotesis penelitian. Menurut
sugiyono, instrumen penelitian adalah suatu alat yang digunakan mengukur
fenomena alam maupun sosial yang diamati[29].
Sesuai dengan jenis data yang dibutuhkan, penelitian ini menggunakan instrumen
berupa tes hasil belajar. Dan dalam penelitian ini data diperoleh dengan tes
hasil belajar.
Istilah
tes diambil dari kata testum suatu
pengertian dalam bahasa Prancis kuno yang berarti piring untuk menyisihkan
logam-logam mulia[30].
Sebelum ada ejaan yang disempurnakan dalam bahasa Indonesia ditulis dengan test,
adalah merupakan alat atau prosedur uang digunakan untuk mengetahui atau
mengukur sesuatu dalam suasana, dengan cara dan aturan-aturan yang sudah
ditentukan[31].
Tes adalah sekumpulan pertanyaan atau latihan serta alat yang digunakan untuk
mengukur keterampilan, pengetahuan, intelegensi, kemampuan atau bakat yang
dimiliki oleh individu atau kelompok[32].
Tes dalam penelitian ini merupakan tes prestasi atau achievement test, yaitu tes yang digunakan untuk mengukur
pencapaian seseorang setelah mempelajari sesuatu[33].
Dalam penelitian ini, tes yang digunakan untuk mengukur hasil belajar fisika
siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol adalah tes pilihan ganda (multiple choice test) guna mengukur
kognitif siswa dalam hal memahami materi atau teori yang dipelajari dalam
proses pembelajaran fisika.
7.
Kalibrasi
Instrumen
Untuk
memperoleh butir tes yang mempunyai kategori baik dan bisa di pakai untuk
penelitian, maka harus di uji cobakan terlebih dahulu. Analisis perangkat tes
adalah analisis untuk mengetahui validitas, reliabilitas, indeks kesukaran dan
daya pembeda.
Instrumen
penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah instrumen tes pilihan
ganda (multiple choice test). Soal
tes disusun berdasarkan ruang lingkup matri yang di ajarkan. Untuk keabsahan instrumen
penelitian ada beberapa yang harus diperhatikan,antara lain :
a.
Validitas
Validitas
adalah suatu ukuran yang menunjukan tingkat kevalidan atau kesahihan suatu
instrumen. Suatu instrumen dikatakan valid bila instrumen tersebut tepat untuk
maksud dan kelompok tertentu, mengukur apa yang semestinya diukur, derajat
ketepatan mengukurnya benar dan validitasnya tinggi[34].
Pengujian validitas butir soal atau butir instrumen dilakukan dengan menghitung
koefesien korelasi antara skor butir soal dengan skor tes. Soal dianggap valid
bila skor soal tersebut mempunyai koefesien korelasi signifikan dengan skor
total tes. Untuk mengukur validitas butir soal dalam penelitian ini digunakan
rumus korelasi biserial yaitu :
Keterangan :
= koefisien relasi biseral
= rerata skor dari subyek yang menjawab betul bagi item yang
dicari validitasnya
= rerata skor total
= standar deviasi skor total
p = proporsi siswa yang menjawab benar
( )
q = proporsi siswa yang menjawab salah (q = 1
– p )
Untuk
mengetahui vatid tidaknya butir soal, maka hasil perhitungan rhit dibandingkan
dengan rtabel. Jika rhit
rtabel maka
soal tersebut valid. Jika rhit rtabel maka
soal tersebut dinyatakan tidak valid.
b.
Reabilitas
Reliabilitas
instrumen atau alat evaluasi adalah ketetapan alat evaluasi dalam mengukur atau
ketetapan siswa dalam menjawab alat evaluasi tersebut. Pengujian reliabilitas
dapat dilakukan secara eksternal maupun internal. Sebuah alat evaluasi
dikatakan reliabel apabila hasil dari dua kali atau lebih pengevaluasian dengan
dua atau lebih alat evaluasi yang senilai pada masing-masing pengetesan akan
sama.
Suatu
alat evaluasi dikatakan baik, bila reliabilitasnya tinggi. Secara empirik
tinggi-rendahnya reliabilitas ditunjukan oleh suatu angka yang disebut
koefesien reliabilitas, berkisar antara 0 sampai dengan 1. Dalam penelitian
ini, pengujian tingkat reliabilitas instrumen dilakukan menggunakan rumus K-R.
20, yaitu[35]
:
Keterangan :
rii =
reliabilitas tes secara keseluruhan
p = proporsi subjek
yang menjawab item dengan benar
q = proporsi subjek
yang menjawab item dengan salah (q=1-p)
n = banyaknya item
S = standar deviasi
dari tes (standar deviasi adalah akar varians)
∑pq = jumlah hasil
perkalian antara p dan q
c.
Indeks
kesukaran
Indeks
kesukaran soal merupakan bilangan yang menunjukan sukar dan mudahnya suatu
soal. Soal yang baik adalah soal yang tidak terlalu mudah dan tidak terlalu
sulit. Indeks kesukaran soal rentangnya dari 0,0 – 1,0. Semakin besar indeks
menunjukan semakin mudah butir soal, karena dapat dijawab dengan benar oleh
siswa. Sebaliknya, jika sebagian kecil atau tidak ada sama sekali siswa yang
menjawab benar menunjukan butir soal
sulit. Indeks 0,0 menunjukan butir soal yang sukar, sedangkan indeks
1,0, menunjukan butir soal yang sangat mudah. Untuk mengetahui butir soal dalam
kategori mudah, sedang, sukar menggunakan rumus[36]:
Keterangan:
P = indeks
kesukaran
B = banyak siswa
yang menjawab soal itu dengan betul
JS = jumlah
seluruh siswa peserta tes
d.
Daya
pembeda
Daya
pembeda soal adalah kemampuan suatu soal untuk membedakan antara siswa yang
berkemampuan tinggi dengan siswa yang berkemampuan rendah. Angka yang
menunjukan besarnya daya pembeda disebut indeks diskriminasi, di singkat D.
Daya pembeda ini berkisar antara 0,00 sampai 1,00. Menentukan daya pembeda (DP) digunakan
rumus sebagai berikut :
Keterangan :
J = Jumlah
peserta tes
JA = Banyaknya peserta kelompok atas
JB = Banyaknya
peserta kelompok bawah
BA = Banyaknya
peserta kelompok atas yang menjawab soal dengan benar
BB = Banyaknya
peserta kelompok bawah yang menjawab soal dengan benar
= Proporsi
peserta kelompok atas yang menjawab benar
= Proporsi
peserta kelompok bawah yang menjawab benar
8.
Teknik
Analisis Data
a.
Uji
Normalitas
Uji
normalitas data ini dilakukan untuk mengetahui apakah sebaran data
berdistribusi normal atau tidak. Uji normalitas yang digunakan adalah uji kai
kuadrat (chi square) dengan rumus
sebagai berikut[37]:
Keterangan:
X2 = chi kuadrat
f0 = frekuensi yang diobservasi
fh = frekuensi yang
diharapkan
b.
Uji
Homogenitas
Uji
homogenitas dilakukan untuk mengetahui kesamaan antara dua keadaan atau
populasi. Untuk menguji homogenitas kedua varians kedua hasil pretest dan
posttes digunakan uji bartlet dengan rumus sebagai berikut:[38]
Keterangan:
Jika X2hitung
< X2tabel maka data memiliki varians yang
homogen dan jika X2hitung > X2tabel maka
data memiliki varians yang tidak homogen.
c.
Uji
Hipotesis Penelitian
Jika
sampel berkorelasi/berpasangan, misalnya membandingkan sebelum dan sesudah
treatmen atau perlakuan, atau membandingkan kelompok kontrol dengan keompok
eksperimen, maka digunakan rumus t-test sample related. Rumus t-test adalah
sebagai berikut :
dimana, sx-y2 =
Keterangan :
= rata-rata nilai kelas kontrol
= rata-rata nilai kelas eksperimen
nx =
jumlah kelas kontrol
ny =
jumlah kelas eksperimen
sx =
variansi nilai-nilai kelas kontrol
sy =
variansi nilai-nilai kelas eksperimen
Pasangan
hipotesis yang akan di uji adalah :
Ho : μ1 = μ2
Ha : μ1 ≠ μ2
Keterangan :
μ1 = rata-rata
hasil belajar kelompok eksperimen
μ2 = rata-rata
hasil belajar kelompok kontrol
kriteria
pengujiannya adalah Ho diterima jika ttabel < thitung.
H. Daftar Pustaka
Arikunto, Suharsimi.
2002. Prosedur Penelitian Satu Pendekatan
Praktek. Jakarta: Rineka Cipta.
Arikunto, Suharsimi.
2009. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan.
Jakarta: Bumi Aksara.
Dahar, Ratna
Wilis. 1996. Teori-Teori Belajar. Jakarta:
Erlangga.
Kunandar. 2007. Guru
Profesional Implementasi KTSP dan Sukses Dalam Sertifikasi guru.
Makmun, Abin
Syamsuddin. 2007. Psikologi Kependidikan
Perangkat Sistem Pengajaran Modul. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Makmun, Abin
Syamsuddin. 2007. Psikologi Kependidikan
Perangkat Sistem Pengajaran Modul. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Slameto. 2010. Belajar dan Faktor-Faktor yang
Mempengaruhinya. Jakarta: Rineka Cipta.
Slavin, Robert
E. 2008. Cooperative Learning. Bandung:
Nusa Media.
Sudjana. 2005. Metoda Statistika. Bandung: Tarsito.
Sudijono, Anas. 2010. Pengantar Statistik Pendidikan. Jakarta:
Raja Grafindo Persada.
Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan
Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta
Syah, Muhibbin. 2011. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru.
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Walpole, Ronald E. 1992. Pengantar Statistika. Jakarta:Gramedia
Pustaka Utama.
Nik Azlina. 2010. Supporting Collaborative Activities Among
Students and Teachers Through the Use of Think-Pair-Share Techniques. International
Journal of Computer Science Issues, Vol. 7, Issue 5, September 2010
Arianti, Peni. 2007. Pengaruh Penerapan Pembelajaran Kooperatif
Tipe Think Pair Share (Tps) Terhadap Hasil Belajar Siswa Sma Negeri 8 Surakarta.
Jurnal pendidikan biologi.
[1]
Soedijarto, Landasan dan Arah Pendidikan Nasional Kita, (Jakarta: PT. Kompas
Media Nusantara, 2008) hal. vii
[2] Ratna
wilis Dahar, Teori – Teori Belajar, (Bandung: PT. Gelora Aksara Pratama, 1996)
hal. 11
[3]
Kunandar, Guru Profesional, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007)hal. 367
[4]
Suharsimi arikunto, Dasar-Dasar Evaluasi
Pendidikan, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009) h.121
[5]
Kunandar, Guru Profesional, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007)hal. 359
[6] Slavin,
Cooperative Learning, (Bandung: Penerbit Nusa Media, 2008) hal. 4
[7] Ibid.
Hal 4
[8] Ibid,
hal. 8
[9] Ibid,
hal. 9
[10]
Kunandar, Guru Profesional implementasi kurikulum KTSP dan sukses dalam
sertifikasi guru, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007) hal. 37
[11]
http://desyhandayanii.blogspot.com/2012/04/think-pair-share-tps0.html (di akses tanggal
12-01-2013, jam 09.50)
[12] Ratna
wilis Dahar, Teori – Teori Belajar, (Bandung: PT. Gelora Aksara Pratama, 1996)
hal. 11
[13] W.S.
Winkel, Psikologi Pengajaran, (Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia,
1996) hal. 52
[14] Arief
S. Sadiman, dkk. Media Pendidikan
(pengertian, pengembangan dan pemanfaatannya), (Jakarta: Rajawali Press, 2010)
hal. 23
[15]
Slameto, Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya (Jakarta: Rineka Cipta,
2010) hal. 2
[16]
Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya Offset, 2010) hal. 92
[17] Ratna
Wilis Dahar, Teori-Teori Belajar, (Bandung: Erlangga, 1996) hal. 135-140
[18] Ratna
Wilis Dahar, Teori-Teori Belajar, (Jakarta: Erlangga, 1996), hal. 134
[19] Hisyam
Zaini,dkk., Desain Pembelajaran, (Yogyakarta: IAIN Sunan Kali Jaga Yogyakarta,
2002), hal. 68
[20] Arief
S. Sadiman, dkk. Media Pendidikan
(pengertian, pengembangan dan pemanfaatannya), (Jakarta: Rajawali Press, 2010)
hal. 2
[21] Nana
syaodih sukmadinata, Metode Penelitian
Pendidikan (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007) hal. 58
[22] Nana
Sudjana dan Ibrohim, Penelitian dan Penilaian Pendidikan, (Bandung: Sinar Baru
Algesindo, 2007) hal. 43-44
[23]
Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan, (Bandung: Alfabeta, 2011) hal. 60
[24] Ibid
hal.112-113
[25] Ibid,
hal. 117
[26] Ronald
E. Walpole, Pengantar Statistika, (Jakarta: GramediaPustaka Utama. 1992), hal.
7
[27] Ibid
hal. 118
[28]
Ruseffendi, Statistika Dasar Untuk Penelitian Pendidikan, (Bandung: IKIP
Bnadung Pess, 1994), hal. 8
[29]
Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan, (Bandung: Alfabeta, 2011) hal. 148
[30]
Suharsimi Arikunto, Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan, (Jakarta: Bumi Aksara,
2009), hal 52
[31] Ibid
hal. 53.
[32]
Ruseffendi, Statistika Dasar Untuk Penelitian Pendidikan, (Bandung: IKIP
Bnadung Pess, 1994), hal. 24.
[33] Ibid,
hal.24
[34]
Ruseffendi, Statistika Dasar Untuk Penelitian Pendidikan, (Bandung: IKIP
Bnadung Pess, 1994), hal. 132.
[35]
Suharsimi Arikunto, Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan, (Jakarta: Bumi Aksara,
2009), hal 100
[36] Ibid,
h. 208
[37] Anas
Suditjono, Pengantar Statistik Pendidikan, (Jakarta: Rajawali Pers 2010), h.298
[38]
Sudjana, Metoda Statistika, (Bandung: Tarsito2005), h. 263